cyanism

Thursday, January 20, 2005

Kebo Giro Vs. Kodok Ngorek


foto cpp 26 tahun yang lalu, sama sekali tidak jawir!

Buat yang tidak faham bahasa Jawa, tidak perlulah bertanya-tanya apa arti "Giro" (tidak ada hubungannya dengan pos) dan "ngorek", karena tidah terlalu penting. Semalam saya terkantuk-kantuk (yang menurut Mamanda ngisin-ngisini), dalam rapat kawinan yang penuh dengan basa-basi. Secara pribadi saya tidak perduli apakah kostum yang dipakai nanti Jogya atau Solo, prosesi di gedung memakai lagu Kebo atau Kodok, acara panggih mesti pakai tumplek punjen atau tumplek blek. Tetapi sebagai bagian dari keluarga, saya harus ikut duduk di situ, mendengarkan perdebatan para pinisepuh.

Saya ragu para calon pengantin tahu apa arti dari simbol-simbol yang diwakili setiap detik upacara adat yang njelimet itu. Sebaiknya mungkin diterbitkan semacam buku pegangan, sehingga mereka mahfum tentang apa saja yang mesti mereka hadapi (selain menyetir bahtera perkawinan). Bukan hanya para sepuh yang tahu. Karena (seharusnya) ini bukan hanya prosesi untuk memamerkan "kejawaan" semata.

"Jawa itu Kunci", kata pentolan PKI Aidit. Karena menjadi kunci itukah maka sebagai orang Jawa harus memamerkan dan menggarisbawahi kejawaan seseorang? Apakah darah Jawa yang mengalir dalam tubuh membuat lebih superior dari yang lain? Emak saya sering mewanti-wanti, "Pokoknya yang penting, kamu mesti dapet orang Jawa", ke anak- anaknya. Dengan alasan utama kaum lelaki dan perempuan Jawa memiliki unggah-ungguh yang tak dapat diungguli ras lain. Walaupun pada kenyataannya fakta ini tidak benar.

Penekanan pada kata Jawa adalah pokok dan penting ditambah dengan repetisi kalimat tersebut 10 tahun terakhir, membentuk semacam pemberontakan dalam diri saya.
"Kenapa HARUS Jawa?", adalah reaksi dari kalimat represif Mamanda tersebut, ditambah dengan preferensi oriental saya yang tidak ndak njawani. Bertahun-tahun saya berusaha melawan dan membuktikan bahwa Jawa tidaklah super duper. Entah alam bawah sadar atau sistem cuci otak secara represif, atau doa seorang Ibu (yang katanya amat tokcer) membuat saya menyadari perbedaan lelaki Jawa dengan yang lain. Ternyata kehangatan yang familiar seperti sekoteng mungkin yang menyulut.

Perdebatan mereka masih berlanjut hinggat larut, dan rasa kantuk saya semakin akut.

Untung saja akhirnya Mamanda menyingkirkan saya untuk mengobrol dengan "anaknya Tante X",walaupun akhirnya kami sama-sama mengantuk dan sepakat untuk terkantuk-kantuk bersama di pojok.


0 Comments:

Post a Comment

<< Home



adopt your own virtual pet!